Rabu, 19 Desember 2012

Universitas Esa Unggul menjadi Pemenang Perguruan Tinggi Swasta Unggulan 2012 – Kopertis Wilayah III Jakarta bidang Akselerasi Program Peningkatan Mutu



Selamat kepada Universitas Esa Unggul sebagai Pemenang Perguruan Tinggi Swasta Unggulan 2012 di Bidang Akselerasi Program Peningkatan Mutu – Kopertis Wilayah III Jakarta
piala PTS unggulan 2012
Download Pemilihan PTS Unggulan 2012.ppt

Keunggulan generik universitas terpilih
  • Kejelasan arah pengembangan dan tahapannya
  • Menerapkan harmonisasi sistem sentralisasi administrasi/operasional dan desentralisasi akademik
  • Didukung sepenuhnya dengan pemanfaatan sistem informasi dan teknologi untuk kecepatan layanan dan efisisen
  • Paper-less services

4 Perguruan Tinggi Swasta
Akselerasi Program Peningkatan Mutu
  • Agresif dalam memfokus kepada program-program studi keahlian spesifik (profesional) yang langka, untuk percepatan daya serap lulusan di pasar kerja
  • Didukung tim pengajar perpaduan yang kuat antara akademisi, praktisi (profesional), dan birokrat
  • Menerapkan sistem pengajaran  berbasis IT dari awal sampai akhir proses pembelajaran secara on-line
  • Memperkaya dengan sekitar 20 jenis soft-skills yang relevan dengan kebutuhan pasar
  • Diterapkannya sistem insentive dan disinsentive berbasis capaian kinerja dosen dalam struktur remunerasi
  • Luasnya kerjasama dengan dunia industri dan dunia kerja
  • Mempunyai potensi berkembang cepat

More News 

Senin, 17 Desember 2012

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika,Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus antara Universitas Esa Unggul dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat

Pada Hari Kamis 06 Desember 2012 Bertempat di Ruang 207-208 Universitas Esa Unggul (UEU), telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara UEU dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat tentang Kerjasama di Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika, Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus.
Penandatanganan dilakukan langsung oleh Rektor Universitas Esa Unggul, Bapak Dr. Ir. Arief Kusuma AP., MBA dihadiri oleh Civitas Akademika UEU, Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta para orang tua mahasiswa dan undangan. Dalam sambutannya Bapak Dr. Arief Kusuma menyampaikan bahwa UEU terus berupaya dan berbenah diri dalam menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan kondusif dilingkungan UEU dan tak akan pernah mentolerir bagi berkembang dan masuknya narkoba, minuman keras dan judi di lingkungan kampus.
Penandatangan tersebut sekaligus mempertegas sikap dan komitmen UEU bahwa narkotika adalah barang haram dan mematikan yang perlu dicegah sedini mungkin, upaya ini tentu perlu didukung oleh semua pihak dengan melibatkan berbagai unsur terkait dengan bekerjasama secara aktif guna menangkal masuk dan berkembangnya narkoba, minuman keras dan judi di kampus. Dalam sambutannya Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, yang diwakili Ajun Komisaris Besar Polisi Gembong Yudha SP, SH selaku Kasat Resnarkoba Polres Jakarta Barat menyambut baik kerjasama ini dan siap secara bersama-sama menciptakan UEU sebagai kampus yang bersih, sehat dan kondusif bagi terselenggaranya proses belajar mengajar dan terhindar dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada rusaknya sendi-sendi moral maupun tata kelola kehidupan masyarakat kampus yang harmonis.
Penandatanganan ini juga seolah menjadi sebuah angin segar bari para Civitas Akademika UEU, para orang tua dan masyarakat ditengah semakin tingginya kekhawatiran public dengan merebaknya pemakaian dan peredaran gelap narkoba, judi dan minuman keras di kampus. Demi keselamatan kita bersama, katakan tidak pada Narkoba, demikian yang disampaikan oleh Bapak David Hutapea dari BNN yang berkesempatan hadir pada acara ini dan siap mendukung UEU mencegah masuknya narkotika di kampus.


More News

Sabtu, 15 Desember 2012

Workshop & Seminar dan Contest Blog – HIMMA Fasilkom Eksekutif Universitas Esa Unggul


Dalam rangka memperingati Human Rights Day 2012, HIMMA Fasilkom eksekutif Universitas Esa Unggul menyelenggarakan Workshop & Seminar dan Contest Blog dengan tema Kau Sahabat dan Saudaraku”

Workshop & Seminar
Jumat, 21 Desember 2012, Jam 14.00 WIB – Selesai
Ruang 811, Lantai 8 Universitas Esa Unggul
Pembicara  : Enda Nasution ( Bapak Blogger Indonesia)

Contest Blog
Sabtu, 26 Januari 2013, Jam 09.00 WIB – 14.00 WIB
Ruang 811, Lantai 8 Universitas Esa Unggul

HADIAH :
  • Juara 1   :  Laptop
  • Juara 2   :  Netbook
  • Juara 3   :  Tablet PC
Pendaftaran :
Mahasiswa Esa Unggul  Rp. 50.000,-
Umum  Rp. 75.000,-
Salman – 089601457222
Lidya – 085715566479
Fardian – 089635920035

Note :
Untuk mengikuti Workshop ini tidak wajib mengikuti lomba, tetapi yang mengikuti lomba wajib untuk mengikuti workshop

Kata Kunci : universitas , contest , blog 

More News 

Kamis, 13 Desember 2012

PROKRASTINASI (Kebiasan Menunda Tugas/Pekerjaan)

Share

Dra. Sulis Mariyanti, M.Psi.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul

Prokrastinasi berasal dari bahasa latin yaitu “pro” yang berarti “maju”, ke depan, lebih menyukai dan “crastinus” yang berarti “besok” (Steel, 2006). Jadi dari asal katanya prokrastinasi adalah lebih suka melakukan tugasnya besok. Orang yang melakukan prokrastinasi disebut sebagai prokrastinator. Prokrastinasi adalah menunda dengan sengaja kegiatan yang diinginkan walaupun mengetahui bahwa penundaannya dapat menghasilkan dampak buruk.
Menurut Ferrari et.al (1995) menyimpulkan bahwa pengertian prokrastinasi dapat dipandang dari berbagai sudut pandang yaitu 1).prokrastinasi adalah setiap perbuatan untuk menunda mengerjakan tugas tanpa mempermasalahkan tujuan dan alasan penundaan 2). Prokrastinasi sebagai suatu pola perilaku (kebiasaan) yang mengarah kepada trait dan  penundaan yang dilakukan sudah merupakan respon yang menetap seseorang dalam menghadapi tugas dan biasanya disertai dengan keyakinan yang irrasional 3). Prokrastinasi sebagai suatu trait kepribadian, tidak hanya perilaku menunda tetapi melibatkan struktur mental yang saling terkait.
Di bidang Akademik cukup sering terlihat secara langsung perilaku prokrastinasi di kalangan mahasiswa. Menurut Ferrari et al (1995), sebagai suatu perilaku penundaan, prokrastinasi akademik dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu dan diamati melalui ciri-ciri tertentu berupa :
  • Penundaan untuk memulai menyelesaikan tugas yang dihadapi
  • Keterlambatan dalam menyelesaikan tugas, karena melakukan hal-hal lain yang tidak dibutuhkan.
  • Kesenjangan waktu antara rencana yang ditetapkan dan kinerja aktual
  • Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada tugas yang harus dikerjakan (seperti ngobrol, nonton, mendengarkan musik, jalan-jalan, dll)
Kata Kunci : universitaspsikologi

More Article Di Sini 

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika,Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus antara Universitas Esa Unggul dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat


Pada Hari Kamis 06 Desember 2012 Bertempat di Ruang 207-208 Universitas Esa Unggul (UEU), telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara UEU dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat tentang Kerjasama di Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika, Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus.
Penandatanganan dilakukan langsung oleh Rektor Universitas Esa Unggul, Bapak Dr. Ir. Arief Kusuma AP., MBA dihadiri oleh Civitas Akademika UEU, Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta para orang tua mahasiswa dan undangan. Dalam sambutannya Bapak Dr. Arief Kusuma menyampaikan bahwa UEU terus berupaya dan berbenah diri dalam menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan kondusif dilingkungan UEU dan tak akan pernah mentolerir bagi berkembang dan masuknya narkoba, minuman keras dan judi di lingkungan kampus.
Penandatangan tersebut sekaligus mempertegas sikap dan komitmen UEU bahwa narkotika adalah barang haram dan mematikan yang perlu dicegah sedini mungkin, upaya ini tentu perlu didukung oleh semua pihak dengan melibatkan berbagai unsur terkait dengan bekerjasama secara aktif guna menangkal masuk dan berkembangnya narkoba, minuman keras dan judi di kampus. Dalam sambutannya Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, yang diwakili Ajun Komisaris Besar Polisi Gembong Yudha SP, SH selaku Kasat Resnarkoba Polres Jakarta Barat menyambut baik kerjasama ini dan siap secara bersama-sama menciptakan UEU sebagai kampus yang bersih, sehat dan kondusif bagi terselenggaranya proses belajar mengajar dan terhindar dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada rusaknya sendi-sendi moral maupun tata kelola kehidupan masyarakat kampus yang harmonis.
Penandatanganan ini juga seolah menjadi sebuah angin segar bari para Civitas Akademika UEU, para orang tua dan masyarakat ditengah semakin tingginya kekhawatiran public dengan merebaknya pemakaian dan peredaran gelap narkoba, judi dan minuman keras di kampus. Demi keselamatan kita bersama, katakan tidak pada Narkoba, demikian yang disampaikan oleh Bapak David Hutapea dari BNN yang berkesempatan hadir pada acara ini dan siap mendukung UEU mencegah masuknya narkotika di kampus.

Kata Kunci : Universitas , Jakarta Barat

More News 


Rabu, 12 Desember 2012

Univ. Esa Unggul Masuk 50 Besar 4ICU ( Rangking ke - 33)


4ICU merupakan mesin pencari pendidikan tinggi internasional yang mengulas akreditasi perguruan tinggi di dunia. Tercatat sedikitnya 12 ribu perguruan tinggi dari 200 negara telah direview oleh organisasi ini.


Perangkingan dilakukan dengan menggunakan metode algoritma dan didasarkan pada tiga mesin pencari independen seperti google page rank, yahoo inbound links dan alexa traffic rank. Berbeda dengan dengan penilaian webometrics yang dilakukan terhadap empat parameter utama, yakni size, visibility, rich files, dan scholar.

Organisasi 4ICU dibangun dengan tujuan membantu dosen dan mahasiswa internasional mencari secara spesifik informasi tentang popularitas sebuah universitas di sebuah negara.
Berikut peringkat 50 besar se-Indonesia terkait website perguruan tinggi versi 4ICU.

                  Universitas Lokasi

1  Institut Teknologi Bandung

Bandung
2  Universitas Indonesia Depok 
3  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
4  Universitas Gunadarma Depok
5  Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
6  Universitas Diponegoro Semarang 
7  Universitas Sebelas Maret Surakarta
8  Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
9  Universitas Airlangga Surabaya
10  Institut Pertanian Bogor Bogor
11  Universitas Sumatera Utara Medan
12  Universitas Padjadjaran Bandung 
13  Universitas Islam Indonesia  Yogyakarta
14  Universitas Brawijaya Malang
15  Universitas Mercu Buana Jakarta
16  Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta
17  Universitas Kristen Petra Surabaya
18  Universitas Sriwijaya Palembang 
19  Universitas Surabaya Surabaya 
20  Universitas Muhammadiyah Malang Malang 
21  Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta
22  Universitas Bina Nusantara Jakarta 
23  Universitas Muhammadiyah Surakarta Surakarta
24  Universitas Negeri Malang Malang
25  Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
26  Universitas Negeri Semarang Semarang 
27  Universitas Andalas Padang
28  Universitas Hasanuddin Makassar
29  Universitas Komputer Indonesia Bandung
30  Universitas Lampung Bandar Lampung
31  Universitas Udayana Badung 
32  Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 
33  Universitas Esa Unggul Jakarta 
34  Universitas Bengkulu Bengkulu
35  Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Yogyakarta
36  Universitas Jember Jember
37  Universitas Tarumanagara Jakarta
38  Universitas Trisakti Jakarta
39  Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
40  Universitas Negeri Surabaya Surabaya
41  Universitas Sam Ratulangi Manado
42  Universitas Negeri Padang Padang 
43  Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tangerang
44  Universitas Riau Pekanbaru
45  Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
46  Universitas Negeri Medan Medan
47  Universitas Paramadina Jakarta
48  Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
49  Universitas Trunojoyo Bangkalan
50  Universitas Mulawarman Samarinda


Secara lengkap, pemeringkatan seluruh perguruan tinggi di Indonesia periode 2012 dapat diakses melalui laman http://www.4icu.org/id/.

More News

Pengumuman Beasiswa Universitas Esa Unggul Desember 2012

Daftar Peserta Beasiswa 100% Penuh , Tahap I Desember 2012

No NAMA Asal Sekolah Kota/Propinsi
1 Shinta Eris Virnita SMA Plus PGRI Cibinong, Bogor Bogor, Jawa Barat
2 Vivi Septia Audia SMA Negeri 23 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
3 Witry Sahira SMK Al Chasanah Jakarta barat, DKI Jakarta
4 Rizky Oktamara SMK Al Chasanah Jakarta barat, DKI Jakarta
5 Maria Setya Wardani SMAN 6 Jakarta Jakarta Selatan, DKI Jakarta
6 Siti Sukaesih SMA Mandiri Balaraja Tangerang, Banten
7 Agnes Firdiana Anggraini SMAN 1 Bululawang Malang, Jawa Timur
8 Selvia Monalisa SMAN 5 Tangerang Tangerang, Banten
9 Retno Yuliana SMAN 5 Kota Tangerang Tangerang, Banten
10 Dyah Eras Mita SMK Negeri 1 Pogalan Trenggalek, Jawa Timur
11 Satya Muslimah SMAN 19 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
12 Prahesti Ayu Wulandari SMAN 5 Tangerang Tangerang, Banten
13 Wihda Firdayanti SMAN 3 Cilegon Cilegon, Banten
14 Yuke Rianita SMAN 3 Cilegon Cilegon, Banten
15 Gultom Aussienadia SMA Negeri 10 Melati Samarinda, Kalimantan Timur
16 Natalia Sri Rejeki SMA Negeri 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
17 Putri Utami SMA Citra Islami Village Tangerang, Banten
18 Janice SMK Yadika 4 Tangerang, Banten
19 Noto Suoneto Candra Naya Jakarta barat, DKI Jakarta
20 Esti Prihastuti SMK Kesehatan Riksa Tangerang, Banten
21 Anggita Pradhepti SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
22 Jessica SMAN 57 Jakarta Barat Jakarta barat, DKI Jakarta
23 Fajar Jati Wicaksono SMA Telkom SandhyPutra Kota Malang, Jawa Timur
24 Henny Yunita SMA Plus PGRI Cibinong, Bogor Bogor, Jawa Barat
25 Lusi Sya’bi SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
26 Dita Octavia Kusdianti SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
27 Wanda Amelia Rahma SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
28 Ayu Wulandari SMA Yadika 1 Jakarta barat, DKI Jakarta
29 Ayu Rina Hastuti SMA Yadika 1 Jakarta barat, DKI Jakarta
30 Mutmainnah SMAN 1 Mataram Mataram
31 Kaula Kalyana Mitta SMA Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta barat, DKI Jakarta
32 Raja Luth Hasan SMA N 3 Jambi Jambi
33 Arma Vica Wulandari SMK Kesehatan Riksa Tangsel
34 Nutria Sabbriella SMK N 1 Pangkalpinang Pangkalpinang, Bangka
35 Alex Gufron Mtss Ummul Quro Al-Islami Bogor, Jawa Barat
36 Kasipah SMK Tunas Harapan Jakarta Barat Jakarta barat, DKI Jakarta
37 Ide Primayu Rilmida SMA Mandiri Balaraja Tangerang, Banten
38 Maysita Utami Chaya SMAN 3 Kota Jambi Jambi

Selamat dan Sukses Kepada penerima Beasiswa penuh 100% 2013 tahap I per Desember 2012
Mengingat terbatasnya kesempatan ini, maka  kami mengundang dalam rangka acara Penandatanganan Surat Pernyataan Beasiswa 100% TA 2013 pada:

Tempat       :  Universitas Esa Unggul, Jl. Arjuna Utara 9 , Tol Tomang Kebon Jeruk  Jakarta 11510
Hari             :   Rabu, 19 Desember 2012
Jam             :  14.00- 15.00 WIB
Rang           :  207/208, Lantai II
Acara          :   Penandatanganan Pernyataan Beasiswa Penuh 100%.

Penerima Beasiswa diharapkan didampingi orang tua(Bapak atau Ibu), serta Kepala Sekolah atau Wakil, untuk turut serta  Menandatangani Surat Pernyataan Penerima Beasiswa 100 % Tahun 2013 sebagai saksi.
Mengingat pentingnya acara tersebut dimohon untuk hadir tepat waktu,
Demikian kami sampaikan, selamat atas keberhasilannya dan diucapkan terimakasih
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Sdr. Rendy (Telp.021 567 4223 (hunting) ext. 279 atau 021 704 111 59).

More News 

Senin, 10 Desember 2012

Pola Pengasuhan Dan Gangguan Kepribadian


Yuli Azmi Rohali
Fakultas Psikologi
Universitas Esa Unggul, Jakarta




Proses perkembangan kepribadian tidak terlepas dari pola pengasuhan di masa kanak-kanak, bahkan semenjak masih di dalam kandungan yang akan mempengaruhi kepribadian di masa-masa berikutnya. Tahun-tahun per-tama kehidupan anak merupakan masa yang paling potensial untuk menanamkan dasar-dasar kepribadian untuk di masa-masa berikutnya. Penerapan pola asuh yang tidak tepat memiliki efek yang sangat  besar, seperti mengalami gangguan-gangguan kepribadian.

Orang tua ingin anak-anak mereka tumbuh menjadi individu yang dewasa dengan kepribadian yang matang, dan tak jarang mereka seringkali merasa putus asa apabila anak-anak mereka tidak dapat memenuhi standar keinginan mereka. Saat membahas hubungan orang tua-anak, menemukan bahwa para orang tua terlalu menggunakan kasih sayang dalam kewenangan mereka. Orang tua me-nuntut anak-anak mereka untuk patuh dan men-jalankan aturan-aturan yang diterapkan dengan pe-mikiran bahwa aturan-aturan tersebut untuk kepentingan masa depan anak-anak atau lebih se-ring karena rasa sayang orang tua terhadap anak-anaknya.  Aturan-aturan yang ditetapkan akan ber-fungsi dengan baik, apabila orang tua didalam menerapkan suatu aturan juga disertai dengan pen-jelasan dan harapan-harapan yang ingin dicapai. Sehingga anak akan memahami dan menghargai serta mengetahui apa yang harus mereka lakukan.

Prasetya (2003), mengatakan bahwa pene-rapan pola asuh yang kurang tepat dapat menim-bulkan permasalahan yang justru sebaliknya tidak kita inginkan, bahkan dapat menimbulkan resiko anak akan memiliki gangguan kepribadian pada kontinum yang variatif tinggi. Masih menurut Prasetya (2003), ditemukan di beberapa negara, se-perti Amerika Serikat, Finlandia, Jerman dan Jepang, data statistik menunjukkan bahwa anak-anak yang potensial menderita gangguan kepriba-dian (personality disorder) berkisar sekitar 20%.  Bila mengacu data di atas, dapat diasum-sikan bahwa penerapan pola asuh oleh orang tua dapat menjadi titik penentu kepribadian yang akan dimiliki oleh anak. Apa yang dapat terjadi apabila sebagai orang tua hanya mempertimbangkan segala sesuatu hanya dari sisi kepentingan orang tua tanpa mempertimbangkan kepentingan anak-anak.

Pola Asuh
Baumrind (Santrock, 2003) menekankan tiga jenis cara dalam pengasuhan, yaitu authorita-rian (authoritarian), authoritative (autoritatif) dan permissive (permisif).  Autoritarian (authoritarian), Yaitu gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum, yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan kesempatan pada anak untuk mengutarakan keingi-nannya. Orang tua yang bersifat authoritarian mem-buat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anaknya dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Komunikasi dalam pola asuh ini bersifat satu arah, yaitu bersumber hanya dari orang tua. Sebagai contoh, seorang orang tua authoritarian dapat me-ngatakan, “Kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar!”

Autoritatif (authoritative). Pola pengasuhan autoritatif mendorong dan membebaskan anak tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tin-dakan-tindakan atau perilaku anak. Dalam pola pengasuhan ini, komunikasi verbal secara timbal balik bisa berlangsung dengan bebas (komunikasi bersifat 2 arah), orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Orang tua yang autoritatif dapat merangkul anaknya bila anak berada dalam suatu permasalahan, biasanya secara verbal orang tua akan mengatakan, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Ayo, kita bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik lagi.”

Permisif (permissive). Ada dua macam pengasuhan permisif, yaitu permisif memanjakan dan permisif tidak peduli (Maccoby & Martin dalam Santrock, 2003). Gaya pengasuhan permisif tidak peduli adalah suatu pola pengasuhan orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Orang tua dengan gaya seperti ini, biasanya tidak bisa menja-wab pertanyaan, “Sekarang sudah jam 10 malam. Apakah anda tahu di mana anak anda berada?” Sedangkan gaya pengasuhan permisif-memanjakan adalah suatu pola di mana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang mereka inginkan.

Gangguan Kepribadian
Beberapa jenis gangguan kepribadian yang cukup populer antara lain: (Prasetyo, 2003)

1. Antisocial Personality Disorder (APD)
Gangguan kepribadian jenis ini biasanya terjadi pada anak laki-laki. Perilaku anak-anak APD cen-derung melanggar aturan-aturan dan tidak meng-hormati norma-norma atau hukum formal yang berlaku. Mereka senang berkelahi karena agresi-vitasnya yang sangat tinggi. Mereka seperti mera-sa puas bila orang lain menderita, baik secara fisik maupun non-fisik. Untuk mencapai keinginan-keinginannya, anak APD akan berbohong bahkan memfitnah orang lain. Mereka cenderung impul-sive dan berpikiran pendek tanpa mempertim-bangkan resiko. Anak APD kurang memiliki tanggung jawab, baik pada keluarga, pekerjaan maupun sosial (lingkungan).

Gangguan kepribadian ini paling berbahaya bila dibandingkan dengan gangguan penyimpangan lainnya, karena dapat mengakibatkan penderitaan bagi orang di luar lingkungan primernya.

2.    Histrionic Personality Disorder (HPD)
Penderita gangguan HPD kebanyakan berjenis kelamin perempuan. Perilaku penderita HPD da-lam keseharian cenderung terlalu emosional, ingin menjadi pusat perhatian dari lingkungannya. De-ngan berbagai macam cara mereka berupaya menarik perhatian lingkungan dalam lingkaran yang paling dekat dan lingkungan luar seperti teman-temannya.

Reaksi-reaksi emosionalnya diungkapkan secara berlebihan, bahkan agak hiperbolis dan dramatis. Pada umumnya tampak selalu ceria, tersenyum dan penuh canda tawa. Senang disanjung terutama yang menyangkut penampilan fisik, kecan-tikannya dan cara dalam berpakaian, dan mereka akan bersedia membalas “budi” penyanjungnya dengan cara apa saja. Dalam beberapa kasus penderita HPD, ia mampu atau bersedia me-langgar norma kesusilaan yang wajar.

Situasi emosionalnya tidak menentu, sering ber-ubah-ubah. Pada suatu saat disanjung mereka sangat senang, namun disaat lain dapat berubah menjadi marah besar yang sulit diketahui penye-babnya.

Meskipun penderita HPD tidak seserius penderita APS, namun penderita HPD dapat mengganggu kenyamanan hidup dan kehidupan orang-orang di sekitarnya.

3.    Narcissistic Personality Disorder
Penderita gangguan narcissistic personality disor-der (NPD) ini sangat mementingkan diri sendiri, terkadang dapat mengekspoitasi orang lain, tidak memiliki empati dan dilain pihak mereka sering-kali tidak menghargai diri sendiri.

Penderita NPD harus diperhatikan dan diawasi terus-menerus sepanjang waktu. Mereka terbe-lenggu oleh impian-impian yang muluk-muluk, atau kekuasaannya atau kepintarannya. Namun, mereka sangat paradoksal. Mementingkan diri sendiri tetapi tidak memiliki kepercayaan diri dan penghargaan atas dirinya sendiri, merasa dirinya tidak berarti.

4.    Borderline Personality Disorder
Situasi emosional penderita borderline personality disorder (BPD) tidak menentu, berubah-ubah, impulsive dan seringkali marah tanpa diketahui secara jelas penyebabnya. Kemarahannya diung-kapkan secara eksplosif, meledak-ledak dan berlebihan, terkadang disaat dan dengan cara yang tidak tepat.

Mereka tampak ketakutan bila harus sendirian, sehingga dimanapun dan kemanapun pergi harus ada yang menemani. Mereka memiliki kecen-derungan untuk menyakiti atau merusak dirinya sendiri. Seperti ngebut tanpa control diri yang baik, melukai anggota badannya. Banyak pen-derita BPD yang menggunakan obat-obatan terla-rang, minum-minuman keras. Bagi penderita BPD yang parah, banyak yang mengakhiri penderitaan dengan cara bunuh diri.

Menurut Meninger (Atwater, 2000) individu dengan kepribadian yang sehat adalah individu yang dapat menyesuaikan dirinya terhadap dunianya dan terhadap sesama manusia lainnya secara efektif dan kebahagiaan yang maksimum. Menurutnya,  indi-vidu dengan kepribadian yang sehat akan mampu mengatur emosi, kecerdasan, perilaku sosial yang dapat diterima dan dalam kondisi bahagia.

Ada banyak factor yang dapat membentuk kepribadian yang sehat seorang anak, salah satunya adalah hubungan antara anak dengan orang tuanya di masa perkembangan awal. Hubungan antara orang tua dan anak dimasa perkembangan awal ini menjadi dasar anak dalam membentuk kepribadian hingga membentuk kematangan pada saat anak menginjak dewasa (Bigner, 2003). Hubungan atau interaksi antara orang tua dan anak inilah yang disebut dengan pola asuh. Berikut ini kita akan coba melihat pembentukan kepribadian anak melalui pola asuh yang diterapkan oleh orang tua.

Pola asuh autoritarian, orang tua mengasuh anaknya dengan segala sesuatu berpusat di orang tua. Orang tua menerapkan peraturan yang disertai dengan hukuman bila dilanggar dan anak harus mentaati  tanpa diberi kesempatan untuk menguta-rakan pendapat dan perasaannya. Komunikasi dalam pola pengasuhan ini bersifat satu arah yaitu terpusat pada orang tua. Orang tua mengasuh anaknya secara keras dan tegas. Namun demikian pola asuh otoritarian, tetap  berlandaskan pada rasa cinta orang tua kepada anaknya, hanya penerapan yang kurang tepat untuk perkembangan kepribadian anak.

Penerapan pola asuh autoritarian ini, dapat menimbulkan gangguan kecemasan pada anak, ketidak mampuan anak dalam pengambilan kepu-tusan dan anak akan memiliki kemampuan komuni-kasi yang rendah. Anak-anak tidak memiliki kesem-patan untuk mengutarakan pendapat dan keinginan-nya sehingga mereka tidak terbiasa untuk mengu-tarakan keinginannya ataupun memutuskan penye-lesaian permasalahan yang dihadapinya. Anak tidak mengetahui bagaimana harus bersikap, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan keragu-raguan dan cemas.

Kegiatan yang akan dilakukan oleh anak, harus sesuai dengan keinginan orang tua. mereka harus menanyakan terlebih dahulu apabila mereka menginginkan sesuatu sehingga anak tidak mandiri. Kondisi ini dapat membuat anak frustasi dan agresif bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim dapat menimbulkan terjadinya kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan dan bunuh diri (Zainudin, 2002). Bahkan menurut Prasetya (2003), anak yang diasuh dengan pola asuh ini dapat menderita gangguan kepribadian seperti antisocial personality disorder bahkan borderline personality disorder. Anak APD dan BPD ini cenderung impulsive dan berpikiran pendek tanpa mempertim-bangkan resiko dan mereka pun sulit mengontrol dirinya sendiri, cemas bila harus melakukan pengambilan keputusan dan takut bila sendiri. Mereka selalu membutuhkan orang lain sebagai pendampingnya, mereka kurang memiliki tanggung jawab baik pada keluarga, pekerjaan dan lingkungan sosial.

Walaupun demikian pola asuh autoritarian pada dasarnya adalah bertujuan untuk membuat anak menjadi disiplin dan teratur. Orang tua berpikir mereka lebih mengetahui kepentingan dan kebutu-han anak-anak mereka. Namun sikap mengabaikan dan tidak mempertimbangkan kepentingan anak serta ketidakterbukaan sikap orang tua, cenderung akan membuat anak tidak terlatih untuk mandiri.

Pola asuh permisif, baik permisif-tidak peduli maupun permisif-memanjakan, memiliki kekurangan dalam hal mengatur anak-anaknya. Pola asuh ini memberikan kebebasan kepada anaknya, orang tua tidak mencampuri kehidupan anak-anak mereka. Mereka sedikit sekali menuntut atau me-ngendalikan mereka. Akibatnya adalah si anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mereka bisa mendapatkan semua keinginannya.

Orang tua yang mengasuh anaknya dengan permisif akan menghasilkan anak yang memiliki pengendalian diri yang negatif. Mereka akan me-miliki sedikit teman, bersifat memanjakan diri dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan ketentuan. Bahkan mungkin saja mereka dapat mengalami gangguan kepribadian seperti narsistic personality disorder, borderline personality disor-der dan  histrionic personality disorder.
Gangguan kepribadian ini dapat dialami oleh anak-anak permisif, karena mereka  diasuh de-ngan kebebasan yang berlebihan tanpa ada batasan dan kontrol dari pihak orang tua, sehingga mereka akan sulit memberikan respon emosional yang tepat, mereka lebih mementingkan diri sendiri dan respon yang diberikan pun sering berlebihan. Mereka berusaha mendapatkan perhatian dengan segala cara walaupun harus melanggar norma-norma kesusilaan yang wajar.

Anak dapat melakukan apapun yang dia inginkan tanpa harus dibicarakan terlebih dahulu kepada orang tua. Anak tidak mengetahui apa dan mana yang benar atau apa dan mana yang salah, sehingga mereka sulit menempatkan diri di lingkungan dan mereka pun akan sulit untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Selain itu, anak menjadi tidak peka terhadap situasi yang sedang terjadi di sekitarnya.

Sedangkan pola asuh autoritatif, adalah pola asuh dengan sistem pengasuhan yang demokratis. Pada pola pengasuhan ini anak memiliki kesem-patan untuk melakukan keinginan-keinginannya dan bebas untuk mengutarakan pendapat dan perasa-annya. Walaupun demikian hukuman tetap dite-rapkan dan kesepakatan yang telah dibuat tidak boleh dilanggar. Jadi walaupun anak bebas mela-kukan aktifitas, orang tua tetap melakukan kontrol dan bertindak tegas. Aturan yang diterapkan juga disertai oleh penjelasan kepada anak-anak dan anggota keluarga yang lainnya. Orang tua selalu berusaha menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak-anaknya dan mau mendengarkan cerita anaknya. Orang tua menghargai keputusan dan kei-nginan dari anak-anaknya. Anak yang diasuh dalam pola asuh autoritatif akan sadar diri dan ber-tanggung jawab secara sosial. Mereka terlatih untuk mengambil keputusan secara mandiri dan mereka tidak takut untuk mengutarakan perasaan dan pendapatnya.

Dari pola asuh autoritatif, autoritarian dan permisif, pola asuh autoritatif atau demokrasi lebih memberi kesempatan berkembangnya kepribadian dan aspek-aspek psikologis lainnya menjadi lebih baik dibandingkan 2 pola asuh lainnya. Dengan pola asuh autoritatif, anak-anak diasuh dengan penuh cinta kasih, anak-anak diberikan kebebasan dan kesempatan untuk mengutarakan keinginan dan perasaan yang dirasakan oleh anak. Anak dapat melakukan aktivitas tanpa diikuti oleh perasaan takut, mereka terlatih untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab.

Hubungan antara kecenderungan psikologis pada proses pengasuhan pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat berpengaruh terhadap pro-ses-proses perkembangan pada fase-fase berikutnya. Pola pengasuhan di awal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadian yang akan terus berkembang pada fase-fase berikutnya. Proses pengasuhan di masa bayi akan mendasari kepribadian anak di masa kanak-kanak. Proses pengasuhan di masa kanak-kanak akan mendasari kepribadian di masa hidupnya (Erikson dalam Prasetya, 2003). Kepriba-dian seseorang di masa dewasa tidak dapat dilepas-kan begitu saja dari proses pengasuhan di fase-fase sebelumnya. Tingkah laku seseorang di masa dewasanya sangat mungkin dipengaruhi oleh kon-disi pengasuhannya di masa kanak-kanak.

Kesimpulan
Bila melihat uraian di atas, terlihat bahwa secara menyeluruh penerapan pola asuh akan berakibat kepada kemampuan anak dalam berso-sialisasi pada saat si anak beranjak remaja sampai dewasa. Mereka yang mengalami gangguan kepri-badian akan mengalami hambatan pada saat dia de-wasa bahkan dalam membangun kariernya (Mangoenprasodjo, 2005). Para peneliti terus men-cari bukti yang mendukung keyakinan bahwa pola pengasuhan otoriter dan permisif kurang efektif dibandingkan gaya pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif (Durbin, dkk, 1993: Lamborn, Dornbusch & Kraemer, 1990; Taylor, 1994, dalam Santrock, 2003).
Banyak orang tua menggunakan kombinasi beberapa teknik, daripada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah satu teknik bisa lebih dominan.  Pengasuhan yang konsisten biasanya lebih disaran-kan. Orang tua yang bijak dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu dan lebih bersifat otoriter pada situasi yang lain, namun lebih otoritatif di situasi yang berbeda.

Referensi:
American Psychiatry Association, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder”, 4th ed. American Psychiatric Association, Washington, D.C, 2000.
Mangoenprasodjo, A. Setiono. ”Anak Masa Depan Dengan Multi Intelegensi”, Pradipta Publishing, Yogyakarta, 2005.
Munandar, Utami, ”Bunga Rampai, Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia”,  Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Mu’tadin, Zainun. http://www.e-psikologi.com/ remaja/060808.htm
Prasetya, G. Tembong, ”Pola Pengasuhan Ideal”, Gramedia, Jakarta, 2003.
Santrock, John W., ”Adolescence: Perkembangan Remaja”, Ed. 6, Erlangga, Jakarta, 2003.
Seifert, Kelvin L; Hoffnung, Robert J.,  “Child and Adolescent Development”, Houghton Mifflin Company, Boston, 1997.
Slamet, Suprapti & Markam, Sumarmo,  ”Pengantar Psikologi Klinis”  Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
Wenar, Charles & Kerig, Patricia,  “Developmental Psychopathology From Infancy through Adolescence”, 4th ed. McGraw-Hill Higher, Inc, USA, 2000.

More Article Di Sini

Peran Minat Dalam Bidang Kerja Social Services

Share
Dra. Sulis Mariyanti, Psi.
Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Esa Unggul, Jakarta




Seorang pekerja seperti guru/dosen yang dapat digolongkan sebagai pekerja di bidang social service selalu dituntut untuk memperhatikan dan memahami para siswanya, besar kemungkinan akan banyak mengalami masalah terutama menyangkut relasinya dengan para siswa yang memiliki kebutuhan dan tingkah laku yang berbeda-beda. Dalam upaya melaksanakan pekerjaan secara lebih baik dan memuaskan, selain dibutuhkan kemampuan yang memadai di bidang pekerjaan/profesi tersebut, juga sangat dibutuhkan kesesuaian minat (interest) dengan pekerjaan yang dilakukannya. Minat yang besar terhadap pekerjaan mencerminkan sikap positif terhadap pekerjaan tersebut. Guru maupun dosen yang memiliki minat yang besar di bidang social service, dengan kata lain minatnya sesuai dengan pekerjaannya berarti ia pun memiliki kesukaan terhadap pekerjaan tersebut. Perasaan suka, senang dan puas melakukan suatu pekerjaan yang menjadi profesinya, berarti ada jalinan hubungan yang sehat dan positif, sehingga akan membantu seseorang menyesuaikan diri dengan pekerjaannya secara lebih baik (well vocational adjustment).

Ada beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk bekerja seba-gai guru/dosen, antara lain mendapatkan gaji, memperoleh status & prestige, mengisi waktu luang, tanpa memperhatikan sifat pekerjaannya,tuntutan pekerjaannya, beban kerjanya, resikonya bahkan tanpa memper-hatikan minatnya (interest). Akibatnya, yang bersangkutan cenderung cepat bosan, tidak bersemangat, banyak mengeluh, merasa tertekan dan kinerjanya rendah. Dengan perkataan lain, orang tersebut kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaannya, kurang mampu bertingkah laku sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya. Seperti diketahui, profesi sebagai guru/dosen memang bidang profesi yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan, tidak dapat terlepas dari keterlibatan dengan orang lain yang seringkali sebagai tempat “tumpahan” kekesalan para siswa yang merasa kurang puas dengan materi yang diberikan, metode pengajaran yang dilakukan, bimbingan & arahan, disiplin yang diterapkan maupun nilai yang diberikan. Keadaan ini memung-kinkan munculnya reaksi emosi yang berlebihan dari guru/dosen dan tingkah laku lain yang kurang memuaskan. Bekal penge-tahuan dan keterampilan di bidang penga-jaran belumlah cukup, dari mereka para guru/ dosen dituntut pula untuk memiliki minat yang besar di bidang social service. Minat yang besar terhadap suatu pekerjaan atau dengan perkataan lain memiliki perasaan suka dalam melakukan aktivitas pekerjaan yang saat ini ditekuninya, besar kemungkinan mereka akan selalu berusaha untuk dapat menyelesaikan masalah yang ditemuinya dalam relasinya dengan para siswa secara lebih baik.

Tinjauan Teori
Bidang kerja social service menun-tut para pekerjanya untuk memenuhi setiap kriteria yang ada dalam persyaratan peker-jaan, baik yang berkaitan dengan karak-teristik competency (kemampuan) maupun karakteristik psikologis seperti minat (interest), sikap (attitude), nilai-nilai (values) dan unsur kepribadian lainnya. Kedua karakteristik tersebut, yaitu karak-teristik competency (kemampuan) dan karakteristik psikologis sangat besar pera-nannya dalam job performance seseorang (John R.Schermerhorn, 2001). Sebagai guru /dosen, besar kemungkinan telah memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan dibidangnya yang diperoleh selama masa pendidikannya. Dengan perkataan lain, setiap guru/dosen dapat dianggap telah memenuhi kriteria kemampuan sedangkan persyaratan psikologis mungkin tidak semuanya memiliki karakteristik psikologis yang diperlukan. Perbedaan karakteristik psikologis besar kemungkinan akan menye-babkan tingkah laku yang berbeda untuk setiap guru/ dosen.

Minat (Interest) yang ada pada diri seseorang memiliki suatu kekuatan yang memotivasi (motivating force) untuk ber-tingkah laku memilih aktivitas/pekerjaan yang dirasakan memberikan kesenangan dan kepuasan (Drever, 2006). Selain itu, minat juga dapat berperan sebagai moti-vator sehingga individu memiliki  “kesia-pan” yang mengarahkan  tingkah lakunya ke arah goal tertentu (J.P. Chaplin, 2002). Woodworth & Marquis mengemukakan, bahwa kegiatan akan berlangsung dengan lancar dan berhasil, apabila ada minat yang besar dari diri individu. Sedangkan menurut Steers & Porter, (dalam Supercrites, 2002), minat merupakan intrinsically motivating, yaitu individu akan lebih termotivasi dalam menyelesaikan tugasnya, karena tugas tersebut dirasakan menyenangkan.  Berda-sarkan  pengertian minat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dosen/guru yang memiliki minat yang besar di bidang social service dengan kata lain bidang pekerjaan tersebut sesuai dengan minatnya, besar kemungkinan akan memiliki motivasi yang besar pula dibandingkan dengan dosen/guru yang minatnya tidak sesuai dengan bidang kerjanya. Keadaan inner state individu dengan motivasi yang lebih besar disertai dengan kemampuan yang memadai cende-rung menghasilkan kinerja yang lebih optimal.

Minat terhadap suatu pekerjaan juga mencerminkan sikap positif terhadap pekerjaan tersebut. Apabila dosen/guru memiliki minat yang sesuai dengan bidang kerjanya berarti mereka pun memiliki kesukaan terhadap pekerjaan yang telah ditekuninya saat ini, sehingga akan lebih memiliki kesiapan untuk bertingkah laku dengan cara-cara tertentu yang positif. Perasaan suka, senang, dan puas melakukan suatu pekerjaan berarti ada jalinan positif dan sehat dengan pekerjaan tersebut sehingga lebih memudahkan dosen /guru menyesuaikan diri secara lebih baik terhadap pekerjaannya (well vocational adjustment) (Scheneiders, 2000). Seba-liknya menilai pekerjaan tertentu sebagai hal yang tidak menyenangkan, membo-sankan, merasa terpaksa bekerja atau muncul sikap negatif terhadap pekerjaan social service, bagaimanapun kecilnya perasaan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan untuk menye-suaikan diri dengan pekerjaan tersebut.

Penyesuaian diri terhadap peker-jaan pada dasarnya merupakan usaha untuk mengatasi setiap tuntutan pekerjaan yang dirasakan stressfull, membebani dengan memberikan respons yang matang, efisien, bermanfaat dan memuaskan. Dosen/ guru yang mampu menyelaraskan secara efisien tuntutan pekerjaannya dengan kebutu-hannya dan dapat merasakan  kepuasaan dari pekerjaannya serta berhasil diterima oleh lingkungannya dapat dikatakan seba-gai individu yang well adjusted dengan pekerjaannya. Akan tetapi, apabila dalam usaha menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan memunculkankan reaksi emosi dan defence mechanism yang berlebihan, serta mengalami frustrasi dan muncul reaksi-reaksi yang kurang memuaskan diri sendiri maupun orang lain, akan menyebab-kan penyesuaian diri yang kurang baik (maladjusted). (Keith, 2006).

Bila kita melihat kembali tuntutan pekerjaan guru/dosen yang tergolong bidang social service, maka dapat dikatakan sebagian besar tuntutan tugasnya lebih mengutamakan hubungan interpersonal serta keterlibatan secara emosional  dan sosial dan bukan hanya kemampuan meka-nis/teknis saja (mengajar, mendiskusikan materi, mengevaluasi dan sebagainya). Tuntutan tugas tersebut dapat dimaknakan oleh sebagian individu sebagai suatu tekanan, suatu yang membebani atau sesuatu yang dapat menimbulkan stress, tergantung pada karakteristik individu itu sendiri, baik yang berkaitan dengan karak-teristik competency maupun karakteristik psikologis seperti minat yang ada pada diri guru/dosen.

Setiap guru/dosen tentu telah memiliki bekal kemampuan di bidang pengajaran, sedangkan mengenai minat tidak semua guru/dosen memenuhinya. Perbedaan dalam intensitas minat, besar kemungkinan menyebabkan tingkah laku yang berbeda pula. Perbedaan dalam intensitas minat akan “mewarnai” upaya guru/dosen untuk menyesuaikan dengan pekerjaannya. Minat terhadap suatu peker-jaan mencerminkan sikap yang positif terhadap pekerjaan tersebut, sehingga lebih memungkinkan individu mengarahkan ting-kah lakunya untuk memenuhi setiap tuntutan pekerjaannya secara lebih baik. Dosen/guru yang mampu mengatasi konflik dan toleransi frustrasi yang cukup tinggi terhadap pekerjaan akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri terhadap peker-jaannya.

Menurut Alexander A.Schneiders, (2000), mengemukakan, bahwa penyesuaian diri yang baik adalah “the well adjusted person is one whose responses are mature, efficient, satisfying and wholesome”. Jadi individu yang penyesuaian dirinya baik adalah orang yang dapat memberikan respons yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Matang berarti, mampu memuaskan kebutuhannya dengan cara yang dapat diterima lingkungan. Efisien berarti bahwa dalam mencapai keinginannya individu tidak membuang energi, waktu dan melakukan sedikit kesalahan. Yang dimaksud dengan bermanfaat adalah bahwa respons individu ditujukan ke lingkungannya atau respons tersebut dirasa-kan orang lain bermanfaat.
Baik dan buruknya penyesuaian diri seseorang akan berbeda-beda. Karakteritik  penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders adalah sebagai berikut :

Absence of excessive emotionality
Adjustment yang normal ditandai dengan adanya emosi yang tidak berlebihan atau tidak adanya gangguan dalam emo-sinya. Seperti diketahui sebagian besar tuntutan tugas guru/ dosen lebih mengu-tamakan hubungan interpersonal dengan para siswa  yang tentunya  memiliki keluhan ataupun kritik yang beraneka macam dan diharapkan guru/dosen mampu menanggapinya dengan cara yang memuas-kan. Dalam menghadapi kondisi penuh dengan keluhan dan kritik sangat memungkinkan guru/dosen “terpancing” oleh situasi tersebut dengan menampilkan reaksi emosi yang berlebihan (seperti marah, cepat tersinggung bahkan bersikap masa bodoh). Minat yang besar terhadap suatu pekerjaan akan memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan tersebut disertai kecenderungan memeriksa, menyelidiki/ meneliti, melaksanakannya sehingga memungkinkan seseorang lebih mampu menilai setiap kekurangan maupun masalah yang dihadapi secara lebih baik. Selain itu timbulnya minat yang besar di bidang social service di diri guru/dosen seringkali banyak dipengaruhi pula oleh nilai-nilai hidup sosial  yang dialaminya yaitu adanya kesediaan untuk memberikan pertolongan dan memberikan kesejahteraan batin kepada orang lain. Oleh karena itu, apapun protes dan kejengkelan siswa akan dapat dihadapi dengan keselarasan pemikiran dan perasaan.

Absence of psychological mechanisms
Karakeristik dari adjustment yang normal adalah tidak adanya mekanisme psikologis yang berlebihan, artinya individu dapat memberikan reaksi yang wajar/ normal terhadap masalah atau konflik yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan interpersonal dengan para siswa, guru/ dosen kemungkinan akan mengahadapi situasi “tumpahan” kekesalan para siswa. Dalam kondisi terpojok usaha untuk menumpahkan kesalahan kepada orang lain adalah hal yang mungkin saja terjadi, karena usaha tersebut merupakan usaha alternatif yang mampu dilakukan dalam usaha menyesuaikan diri dengan tekanan yang dihadapi. Minat social service yang memadai akan mendorong dosen/ guru untuk selalu mementingkan hubungan interpersonal yang lebih hangat dan mem-berikan toleransi perasaan kepada orang lain, sehingga memungkin dosen/guru lebih berhasil dalam menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan para siswanya.

Absence of the sense of personal frus-tration
Adanya perasaan frustrasi membuat individu mengalami kesulitan untuk bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya.Apabila individu mengalami frustrasi, maka akan sulit baginya untuk mengolah pikiran, perasaan, motif dan tingkah lakunya secara efisien dalam menghadapi masalah. Dosen/guru yang memiliki minat social service rendah, berarti bidang kerja social service tidak memuat kegiatan yang biasanya ia nikmati. Dengan perkataan lain pilihan untuk bekerja sebagai dosen/guru tidak sesuai dengan minatnya. Ia cenderung kurang dapat merasakan kepuasan & kenikmatan kerja, yang ia temukan adalah kebosanan, Keterpaksaan dan akhirnya membuat indi-vidu mengalami frustrasi. Perasaan frustrasi membuat individu mengalami kesulitan untuk bertingkah laku menghadapi masalah yang ada dalam pekerjaannya. Berbeda dengan mereka yang memiliki minat social service tinggi cenderung dapat melakukan pekerjaannya dengan perasaan senang, puas dan tentunya lebih mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaannya.

Rational deliberation and self direction
Pertimbangan rasional tidak dapat berfungsi dengan baik, bila disertai dengan emosi yang berlebihan, sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Individu yang tidak mampu untuk memecahkan masalah secara rasional, maka ia akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya. Minat yang besar terhadap suatu pekerjaan merupakan “motor penggerak” yang mengarahkan tingkah laku seseorang pada pekerjaan yang memberikan kesenangan. Pekerjaan yang dapat menim-bulkan perasaan senang, suka atau adanya bobot emosi yang positif terhadap pekerjaan tersebut akan memudahkan dosen guru mengarahkan diri untuk berpikir tentang masalahnya dan mempertimbang-kannya secara rasional.

Ability to learn and utilization past experience
Untuk tercapainya adjustment yang normal perlu adanya kesediaan untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan memanfaatkan pengalaman tersebut. Apabila individu tidak mampu meman-faatkan pengalaman yang telah lalu, maka ia akan tetap mengalami kesulitan dalam mengahadapi situasi yang sama. Minat social service yang tinggi pada diri dosen/guru memungkinkannya untuk lebih “involve”/ terlibat secara aktif terhadap pekerjaan yang ditekuninya. Keterlibatan secara aktif tersebut akan memberikan pengalaman yang berharga dan pada akhirnya membuat para dosen/guru lebih mampu mengembangkan kualitas dirinya. Selain itu, dengan pengalaman yang dimiliki, besar kemungkinan mereka tidak akan mengalami kesulitan dalam meng-hadapi situasi yang sama karena telah menemukan strategi yang lebih efektif untuk menangani masalahnya.

Realistic and objective attitude
Sikap yang realistik dan obyektif didasari oleh proses belajar, adanya peman-faatan pengalaman masa lampau dan pemikiran yang rasional. Dengan cara ini, individu dapat menilai situasi masalah ataupun kekurangan yang dimilikinya secara obyektif. Minat social service yang tinggi pada diri dosen/guru atau dapat dikatakan minatnya sesuai dengan peker-jaannya cenderung menimbulkan perasaan cocok dan perasaan lebih berguna dalam berhubungan dengan pekerjaan tersebut, sehingga memungkinkan mereka mempe-roleh lebih banyak pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman-pengalaman tersebut, akan memudahkannya untuk bersikap realistik dan obyektif terhadap masalah atau kekurangan yang dimilikinya.
Jadi, kesesuaian minat dengan pekerjaan secara afektif memberikan pengaruh yang positif pada pelaksanaan tugas. Tugas sebagai seorang guru/dosen yang tergolong bidang social service /human service, menuntut adanya minat social service yang besar. Selain itu, dengan adanya kesesuaian minat dengan pekerjaannya, seorang guru/ dosen cenderung akan lebih well adjusted terhadap pekerjaannya
Minat terhadap suatu pekerjaan memiliki suatu kekuatan yang memotivasi (motivating force) individu untuk terlibat di dalam suatu pekerjaan yang memberikan kesenangan dan kepuasan. Perasaan suka, senang,  puas dalam melakukan suatu pekerjaan, berarti ada jalinan hubungan yang sehat dan positif dengan pekerjaan tersebut, sehingga membantu seorang menyesuaikan diri dengan baik terhadap pekerjaan.

Referensi:
Chaplin JP, “A Dictionary of Psychology”, Dell Publising Co.Inc, New York, 2002.
Drever, James, “A Dictionary of Psychology”, Penguin Books Ltd, Australia, 2006.
Davis, Keith, “Human Behavior at Work”, 6th  edition, Tata Mc Graw Hill Publication Company, New Delhi, 2006.
Gilmer, Von H., “Industrial and Organizational Psychology”, International Student Edition, Mc.Graw Hill Kogakusha Ltd, Tokyo, 2000.
Schneiders, Alexander, “Personal Adjustment and Mental Health”, Holt, Rinehart and Winston, New York, 2000.
Super, Donald EMA., and Crites, John O, “Appraising Vocational Fitness”, 8 th, A Harper International Student Reprint, New York, 2002.
Schermerhorn Jr., John R.,Hunt., James G., Osborn., Richard N., “Managing Organizational Behavior”, John Wiley & Sons Inc, New York, 2001.

Pemberdayaan Komunitas Melalui Pemberian Pengetahuan Ibu-ibu Dalam Komunikasi Pengasuhan Anak


Dra. Safitri, M.Si.
Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Esa Unggul Jakarta


Kemiskinan masih merupakan salah satu masalah besar bagi bangsa Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemis-kinan adalah melalui   program peningkatan penda-patan dan menurunkan beban hidup penduduk miskin. Peningkatan pendapatan keluarga dapat dicapai melalui pendidikan formal maupun infor-mal. Namun demikian, pendidikan bukan hanya menjadi tangung jawab pemerintah tetapi keluarga dan masyarakat. Ketidakmampuan memberikan pendidikan yang layak sejak usia dini, anak-anak dan remaja bukan hanya akan menimbulkan persoalan kenakalan remaja tapi dalam jangka panjang akan menimbulkan kemiskinan baru. Untuk melakukan perbaikan kualitas hidup maka diperlukan kegiatan intervensi dini untuk anak- anak melalui pemberdayaan komunitas.

Program ini bisa dimulai dengan menambah kemampuan orang tua dalam pengasuhan (paren-ting), diantaranya mengenalkan  komunikasi efektif dalam pengasuhan anak, karena  sangat penting bagi kesehatan mental keluarga. Satir(1988, dalam Deaux 1993) menyatakan bahwa keluarga yang sehat (healthy family) memiliki beberapa karak-teristik tertentu yang akan mampu membina anggotanya menjadi pribadi yang sehat mentalnya,   dan diharapkan pada jangka panjang dapat meng-hasilkan anak-anak yang mempunyai high compe-tency., seperti dapat dilihat pada bagan 1.

Meskipun peran orang tua (bapak dan ibu) penting dalam membina komunikasi keluarga, na-mun peran ibu memiliki hubungan yang istimewa, yang disebutkan oleh Bowbly (1973), bahwa kede-katan antara ibu dan anak akan mempengaruhi model mental diri anak, yaitu pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain. Artinya, apabila ibu me-miliki keterampilan berkomunikasi yang baik de-ngan anak, maka model mental diri anak akan baik, sehingga pertumbuhan kesehatan mental anak akan lebih positif. Dengan pertimbangan pentingnya pe-ran ibu tersebut, maka ibu-ibu dipilih sebagai target intervensi, diutamakan  ibu-ibu  yang mempunyai anak usia 3-6 tahun, yang merupakan masa perkem-bangan kemahiran bicara anak (Biddulph, 2004)

Dalam psikologi ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan bagaimana manusia belajar dari berbagai sudut pandang seperti Behaviorism, Neobehaviorism dan Cognitivism (Parsons, et al, 2001). Salah satu penganut teori pembelajaran ini adalah Albert Bandura  yang pertama kali mengem-bangkan teori belajar sosial, menyatakan bahwa dalam proses belajar yang dilakukan manusia terjadi dalam konteks sosial. Seseorang belajar untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan lingkungan-nya, melakukan suatu perilaku yang baru dipelajari bukan hanya karena ada rangsangan yang meng-akibatkan respon tertentu tapi juga sangat dipenga-ruhi oleh pengamatan. Pengamatan tersebut dilaku-kan terhadap model sehingga orang tersebut akan melakukan perilaku sama dengan perilaku model. Teori belajar sosial menyatakan bahwa manusia berperilaku ditentukan oleh 3 faktor yang saling berinteraksi, yaitu :
  1. Faktor kognisi, yaitu anggapan-angggapan, pe-ngetahuan, keyakinan dari seseorang
  2. Faktor perilaku, yaitu kesiapan seseorang untuk bertindak
  3. Faktor lingkungan, yaitu keadaan sekitar di-mana seseorang berada

Ketiga faktor ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi seseorang untuk berperilaku. Faktor lingkungan, kemampuan untuk memproses simbol-simbol yang ada dalam lingkungan untuk berperilaku, akan berpengaruh pada perilaku. Jadi apabila ketiga faktor ini dapat dipenuhi, maka manusia akan berperilaku tertentu sesuai dengan informasi apa yang didapat dari ketiga faktor

Ibu adalah  tokoh penting yang berperan bagi anak untuk menjadi model peran anak, dan memiliki hubungan yang istimewa, yang disebutkan oleh Bowbly (1973), bahwa kedekatan antara ibu dan anak akan mempengaruhi model mental diri anak, yaitu pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain. Ibu adalah lingkungan yang pertama dikenal oleh anak, yang memberikan makan anak, memperhatikan sehat dan sakitnya anak serta mengajak anak bermain (Patmonodewo, 2001). Untuk itulah seorang ibu  perlu mempelajari atau-pun berpengalaman mengenai bagaimana  mendidik anak yang benar. Dengan pengetahuan yang dipe-lajari tersebut ditambah dengan kemauan untuk menerapkan dalam membina hubungan dengan anggota keluarga, akan menjadi faktor utama dalam kehidupan seorang anak. Dasar pemikiran inilah yang mendorong pemilihan target sasaran adalah para ibu.

Kemiskinan selalu diidentikkan dengan ku-rang gizi, putus sekolah, kepedulian kesehatan rendah, kriminalitas, dan fenomena negatif lainnya. Kemiskinan di perkotaan sudah menjadi agenda nasional. Banyak program yang sudah dilakukan  untuk mengatasi ini baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Selain program-program yang bersifat ekonomi, ada ilmu yang relatif baru untuk mengatasi kemiskinan yaitu intervensi dini. Intervensi dini  dilakukan untuk membantu anak da-lam keluarga dengan tujuan agar anak dapat bertahan dengan optimal dalam pertumbuhan dan perkembangannya (Zigler dalam Patmodewo, 2001). Program-program intervensi dini dapat ditujukan langsung kepada anak, kepada ibu ataupun kombi-nasi yaitu ditujukan kepada anak melalui ibu

Program intervensi dini di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1980-an, antara lain (Patmonodewo, 2001) :
  1. Program “Bina Keluarga Balita” yang diperun-tukkan bagi para ibu dan anggota keluarga lain.
  2. Program ‘Ibu Maju Anak Bermutu” yang ditu-jukan kepada ibu dengan anak usia 12-24 bulan.
  3. Program “ Meningkatkan Minat Anak Terhadap Sain (PEMINAS 1988)” yang ditujukan kepada orang tua atau ibu dengan anak usia 4-5 tahun yang berasal dari keluarga menengah ke bawah di daerah Depok, Jawa Barat.

Dalam perubahan sosial yang terencana, Garth N. Jones (Zaltman, 1972) menekankan adanya tujuan bersama, kerjasama yang terarah antara social science operasional dengan sistem organisasi (komunitas, organisasi, individu dan kelompok), menggunakan metode ilmu pengetahuan dan tek-nologi secara sistematik dan efektif, serta ber-dasarkan perencanaan yang matang, rasional, aktual, valid serta reliabel. Sedangkan pada tindakan sosial,  Philip Kotler (1972)  membagi atas lima (5) elemen yaitu: caused (penyebab perubahan), change agency (agen perubahan), change target (target perubahan), channels (saluran perubahan) dan change strategy (strategi perubahan).

1.    Cause (Penyebab  perubahan)
Faktor yang menyebabkan perubahan dapat dikatagorikan atas tiga, yaitu :
  1. Penyebab untuk pertolongan (helping cau-ses), perubahan terjadi untuk membantu korban, tidak ada usaha untuk menjelaskan ke akar masalah.
  2. Penyebab karena protes (protes causes), ter-kait terhadap disiplin pada institusi yang bersalah, konsentrasi pada mengidentifikasi institusi yang banyak berkontribusi ke so-sial.
  3. Penyebab Revolusioner, tujuan sosialnya mengeliminir institusi yang menyebabkan perubahan sosial.

 
2.    Change agency (Agen perubah)
Organisasi yang mencoba membuat perubahan sosial, bisa sebuah group formal, organisasi for-mal dan partai politik. Peran agen perubah dapat sebagai pemimpin atau pendukung.

3.     Change target (Target perubahan)
Adalah target/sasaran yang akan diubah bisa individu, group dan institusi. Misalnya kaum miskin, perokok, ibu-ibu, pengguna yang potensial dan lain-lain. Target juga bisa untuk kalangan tak terbatas atau terbatas (misalnya publik, pemerintah, profesional)

4.    Channel (Saluran)
Bagian yang mempengaruhi dan merespon antar change agent dan change target, yang dibeda-kan atas saluran yang berpengaruh seperti media massa dan selebaran-selebaran dan res-pon saluran misalnya telepon, email dsb.

5.    Change strategy (Strategi  perubahan)
Adalah cara atau strategi yang dipakai oleh agen peubah untuk mempengaruhi target peru-bahan. Ada tiga cara strategi perubahan, yaitu
  1. Power/Coercion (kekerasan/paksaan), usa-ha untuk menghasilkan tingkah laku yang patuh atau dapat bekerjasama dalam men-capai target dengan kontrol berupa sanksi
  2. Persuasif/ bujukan / mempengaruhi, usaha untuk mempengaruhi tingkah laku yang diinginkan melalui identifikasi objek sosial dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang ada pada agen peubah
  3. Edukasi/pendidikan, usaha untuk mempe-ngaruhi tingkah laku yang diinginkan oleh change target melalui internalisasi keper-cayaan dan nilai-nilai baru

Parenting merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi timbal balik dua pihak (anak dan orang dewasa) yang terus menerus untuk menjamin kesehatan dan kelangsungan hidup anak, mempersiapkan anak agar dapat menjadi seorang dewasa yang mandiri secara finansial, dan menjadi seorang dewasa yang dapat berinteraksi sosial dan berperilaku impersonal yang positif (Martin & Colbert, 1997; Brooks, 2001). Dalam hubungan tim-bal balik ini, perilaku orang tua bisa jadi merupakan reaksi terhadap perilaku anak. Sebaliknya, perilaku anak bisa juga sebagai reaksi dari perlakuan orang tua atau apa yang dipersepsikannya.
Parenting atau pengasuhan anak menuntut suatu keterampilan tersendiri seperti halnya peker-jaan kita sehari-hari. Kita tidak bisa mengandalkan pengetahuan mendidik anak dari apa yang dilakukan orang tua kepada kita, atau berdasarkan apa kata teman atau tetangga. Anak berkembang dalam kon-disi dan lingkungan yang berbeda dalam banyak hal, dan terutama karena setiap anak adalah pribadi yang unik, cara untuk anak yang satu berbeda dengan anak yang lain. Orangtua harus sangat bijak dan hati-hati dalam hal ini. Namun demikian, selalu ada hal umum dalam pengasuhan anak yang perlu diketahui dan dipelajari oleh setiap orangtua sehing-ga mereka bisa membesarkan anak-anak dengan baik dan tidak terlalu stres ketika menghadapi kenakalan anak-anak.

Sikap parenting orang tua sangat dipe-ngaruhi oleh faktor sosioekonomi yang meliputi faktor pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan orang tua. Secara umum, orangtua dengan status sosio-ekonomi tinggi bisa memiliki pendapatan, peker-jaan, dan pendidikan yang lebih baik, sedangkan orangtua dari sosioekonomi rendah memiliki pen-dapatan rendah, tidak memiliki keterampilan, dan pendidikanpun biasanya rendah.
Sikap dapat diubah atau berubah melalui banyak cara, melalui perubahan komponen sikap. Sedangkan faktor yang mempengaruhi perubahan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, ins-titusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu

Referensi:
Badan Perencanaan Pembangunan Kota Depok & Badan Kemitraan Ventura UI, “Pembuatan Perencanaan Penanganan Squatter Kota Depok”, Bappeda, Depok, 2005.
Biddulph Steve, “The Secret of Happy Children”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Biro Pelayanan Program Integrasi-PusDiklat Tenaga Program, “Panduan Orientasi Bina Keluarga Balita”, BKKBN, Jakarta, 1990.
BKKBN, “Modul Bina Keluarga dan Balita”, BKKBN, Jakarta, 1989.
_______, “Laporan Umpan Balik Hasil Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan Pengendalian Lapangan”, Direktorat Pelaporan dan Statistik, Jakarta, 2000.
Brooks Jane, “Parenting”, 3th edition, Mayfield Publishing Company, London, 2001.
David W Johnsons & Frank P Johnson, “Joining Together-Group Theory and Group Skills”,  Pearson Education Inc, USA, 2006.
Deaux. Kay; Dane, Francis C & Wrightman, Lawrence S, “Social Psychology in the 90’s”, Brooks/Cole Publishing Company, California, 1993.
Donny Cleopatra dkk, “Final Report Hasil Survey Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas”, Departemen Sipil FT-UI, Depok, 2004.
Gordon Thomas, “PET (Parent Effectiveness Training)”, Peter H Wyden/Publisher, New York, 1973.
Hainah Ellydar, “Laporan Hasil Review Modul Pelatihan Kader BKB-Posyandu”,  BKKBN, Jakarta, 2003.
Katherina Camelia, “Upaya Mengoptimalkan Kemampuan Kelompok Ibu Peduli Dalam Mendidik Anak Dini Usia (3-6 Tahun)”, Pasca Sarjana Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2005.
Oskamp, S dan Schultz PW, “Applied Social Psychology”, Prentice Hall, New Jersey, 1998.
Patmodewo, Utami Munandar, “Intervensi Dini Suatu Usaha Alternatif Guna Meningkatkan Kualitas Bangsa dalam Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi”, UI-Press, Jakarta, 2001.
Rakhmat Jalaluddin, “Psikologi Komunikasi”, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996.
Robert Chambers, “PRA (Participatory Rural Appraisal)- Memahami Desa Secara Partisipatif”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996.
Soebandono Joni P, “Pemberdayaan komunitas desa Tegalgede melalui pengembangan agen perubahan”, Pascasarjana Psikologi Universitas Indonesia, Depok, 2006.
Tresnahati Ashar, Sri dkk, “Laporan Kelompok Pelatihan Komunikasi Ibu Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi”, Pasca sarjana Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2007.
Wibowo dkk, “Materi Pokok Psikologi Sosial”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, Jakarta, 1988.
Yayasan Kita dan Buah hati, “Modul KPA untuk peserta TOT”, Yayasan Kita dan Buah Hati, Jakarta, 2001.
Zaltman, Gerald, Kotler, Philip, & Kaufman, “Creating  Social  Change”, Holt,Rinehart and Winston, Inc, New York, 1972.


More Article Di Sini