
Yuli Azmi Rohali
Fakultas Psikologi
Universitas Esa Unggul, Jakarta
Proses perkembangan kepribadian tidak
terlepas dari pola pengasuhan di masa kanak-kanak, bahkan semenjak masih
di dalam kandungan yang akan mempengaruhi kepribadian di masa-masa
berikutnya. Tahun-tahun per-tama kehidupan anak merupakan masa yang
paling potensial untuk menanamkan dasar-dasar kepribadian untuk di
masa-masa berikutnya. Penerapan pola asuh yang tidak tepat memiliki efek
yang sangat besar, seperti mengalami gangguan-gangguan kepribadian.
Orang tua ingin anak-anak mereka tumbuh
menjadi individu yang dewasa dengan kepribadian yang matang, dan tak
jarang mereka seringkali merasa putus asa apabila anak-anak mereka tidak
dapat memenuhi standar keinginan mereka. Saat membahas hubungan orang
tua-anak, menemukan bahwa para orang tua terlalu menggunakan kasih
sayang dalam kewenangan mereka. Orang tua me-nuntut anak-anak mereka
untuk patuh dan men-jalankan aturan-aturan yang diterapkan dengan
pe-mikiran bahwa aturan-aturan tersebut untuk kepentingan masa depan
anak-anak atau lebih se-ring karena rasa sayang orang tua terhadap
anak-anaknya. Aturan-aturan yang ditetapkan akan ber-fungsi dengan
baik, apabila orang tua didalam menerapkan suatu aturan juga disertai
dengan pen-jelasan dan harapan-harapan yang ingin dicapai. Sehingga anak
akan memahami dan menghargai serta mengetahui apa yang harus mereka
lakukan.
Prasetya (2003), mengatakan bahwa
pene-rapan pola asuh yang kurang tepat dapat menim-bulkan permasalahan
yang justru sebaliknya tidak kita inginkan, bahkan dapat menimbulkan
resiko anak akan memiliki gangguan kepribadian pada kontinum yang
variatif tinggi. Masih menurut Prasetya (2003), ditemukan di beberapa
negara, se-perti Amerika Serikat, Finlandia, Jerman dan Jepang, data
statistik menunjukkan bahwa anak-anak yang potensial menderita gangguan
kepriba-dian (personality disorder) berkisar sekitar 20%. Bila mengacu
data di atas, dapat diasum-sikan bahwa penerapan pola asuh oleh orang
tua dapat menjadi titik penentu kepribadian yang akan dimiliki oleh
anak. Apa yang dapat terjadi apabila sebagai orang tua hanya
mempertimbangkan segala sesuatu hanya dari sisi kepentingan orang tua
tanpa mempertimbangkan kepentingan anak-anak.
Baumrind (Santrock, 2003) menekankan tiga
jenis cara dalam pengasuhan, yaitu authorita-rian (authoritarian),
authoritative (autoritatif) dan permissive (permisif). Autoritarian
(authoritarian), Yaitu gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat
menghukum, yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk orang tua tanpa
disertai penjelasan dan kesempatan pada anak untuk mengutarakan
keingi-nannya. Orang tua yang bersifat authoritarian mem-buat batasan
dan kendali yang tegas terhadap anak-anaknya dan hanya melakukan sedikit
komunikasi verbal. Komunikasi dalam pola asuh ini bersifat satu arah,
yaitu bersumber hanya dari orang tua. Sebagai contoh, seorang orang tua
authoritarian dapat me-ngatakan, “Kamu harus melakukan apa yang saya
katakan. Tidak ada tawar-menawar!”
Autoritatif (authoritative). Pola
pengasuhan autoritatif mendorong dan membebaskan anak tetapi tetap
memberikan batasan dan mengendalikan tin-dakan-tindakan atau perilaku
anak. Dalam pola pengasuhan ini, komunikasi verbal secara timbal balik
bisa berlangsung dengan bebas (komunikasi bersifat 2 arah), orang tua
bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Orang tua yang
autoritatif dapat merangkul anaknya bila anak berada dalam suatu
permasalahan, biasanya secara verbal orang tua akan mengatakan, “Kamu
tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Ayo, kita bicarakan
bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik lagi.”
Permisif (permissive). Ada dua macam
pengasuhan permisif, yaitu permisif memanjakan dan permisif tidak peduli
(Maccoby & Martin dalam Santrock, 2003). Gaya pengasuhan permisif
tidak peduli adalah suatu pola pengasuhan orang tua sangat tidak ikut
campur dalam kehidupan anak. Orang tua dengan gaya seperti ini, biasanya
tidak bisa menja-wab pertanyaan, “Sekarang sudah jam 10 malam. Apakah
anda tahu di mana anak anda berada?” Sedangkan gaya pengasuhan
permisif-memanjakan adalah suatu pola di mana orang tua sangat terlibat
dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka.
Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan mengijinkan anak melakukan
apa yang mereka inginkan.
Beberapa jenis gangguan kepribadian yang cukup populer antara lain: (Prasetyo, 2003)
1. Antisocial Personality Disorder (APD)
Gangguan kepribadian jenis ini biasanya
terjadi pada anak laki-laki. Perilaku anak-anak APD cen-derung melanggar
aturan-aturan dan tidak meng-hormati norma-norma atau hukum formal yang
berlaku. Mereka senang berkelahi karena agresi-vitasnya yang sangat
tinggi. Mereka seperti mera-sa puas bila orang lain menderita, baik
secara fisik maupun non-fisik. Untuk mencapai keinginan-keinginannya,
anak APD akan berbohong bahkan memfitnah orang lain. Mereka cenderung
impul-sive dan berpikiran pendek tanpa mempertim-bangkan resiko. Anak
APD kurang memiliki tanggung jawab, baik pada keluarga, pekerjaan maupun
sosial (lingkungan).
Gangguan kepribadian ini paling berbahaya bila dibandingkan dengan gangguan penyimpangan lainnya, karena dapat mengakibatkan penderitaan bagi orang di luar lingkungan primernya.
Penderita gangguan HPD kebanyakan berjenis
kelamin perempuan. Perilaku penderita HPD da-lam keseharian cenderung
terlalu emosional, ingin menjadi pusat perhatian dari lingkungannya.
De-ngan berbagai macam cara mereka berupaya menarik perhatian lingkungan
dalam lingkaran yang paling dekat dan lingkungan luar seperti
teman-temannya.
Reaksi-reaksi emosionalnya diungkapkan
secara berlebihan, bahkan agak hiperbolis dan dramatis. Pada umumnya
tampak selalu ceria, tersenyum dan penuh canda tawa. Senang disanjung
terutama yang menyangkut penampilan fisik, kecan-tikannya dan cara dalam
berpakaian, dan mereka akan bersedia membalas “budi” penyanjungnya
dengan cara apa saja. Dalam beberapa kasus penderita HPD, ia mampu atau
bersedia me-langgar norma kesusilaan yang wajar.
Situasi emosionalnya tidak menentu, sering
ber-ubah-ubah. Pada suatu saat disanjung mereka sangat senang, namun
disaat lain dapat berubah menjadi marah besar yang sulit diketahui
penye-babnya.
Meskipun penderita HPD tidak seserius penderita APS, namun penderita HPD dapat mengganggu kenyamanan hidup dan kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Penderita gangguan narcissistic
personality disor-der (NPD) ini sangat mementingkan diri sendiri,
terkadang dapat mengekspoitasi orang lain, tidak memiliki empati dan
dilain pihak mereka sering-kali tidak menghargai diri sendiri.
Penderita NPD harus diperhatikan dan
diawasi terus-menerus sepanjang waktu. Mereka terbe-lenggu oleh
impian-impian yang muluk-muluk, atau kekuasaannya atau kepintarannya.
Namun, mereka sangat paradoksal. Mementingkan diri sendiri tetapi tidak
memiliki kepercayaan diri dan penghargaan atas dirinya sendiri, merasa
dirinya tidak berarti.
Situasi emosional penderita borderline
personality disorder (BPD) tidak menentu, berubah-ubah, impulsive dan
seringkali marah tanpa diketahui secara jelas penyebabnya. Kemarahannya
diung-kapkan secara eksplosif, meledak-ledak dan berlebihan, terkadang
disaat dan dengan cara yang tidak tepat.
Mereka tampak ketakutan bila harus sendirian, sehingga dimanapun dan kemanapun pergi harus ada yang menemani. Mereka memiliki kecen-derungan untuk menyakiti atau merusak dirinya sendiri. Seperti ngebut tanpa control diri yang baik, melukai anggota badannya. Banyak pen-derita BPD yang menggunakan obat-obatan terla-rang, minum-minuman keras. Bagi penderita BPD yang parah, banyak yang mengakhiri penderitaan dengan cara bunuh diri.
Menurut Meninger (Atwater, 2000) individu
dengan kepribadian yang sehat adalah individu yang dapat menyesuaikan
dirinya terhadap dunianya dan terhadap sesama manusia lainnya secara
efektif dan kebahagiaan yang maksimum. Menurutnya, indi-vidu dengan
kepribadian yang sehat akan mampu mengatur emosi, kecerdasan, perilaku
sosial yang dapat diterima dan dalam kondisi bahagia.
Ada banyak factor yang dapat membentuk
kepribadian yang sehat seorang anak, salah satunya adalah hubungan
antara anak dengan orang tuanya di masa perkembangan awal. Hubungan
antara orang tua dan anak dimasa perkembangan awal ini menjadi dasar
anak dalam membentuk kepribadian hingga membentuk kematangan pada saat
anak menginjak dewasa (Bigner, 2003). Hubungan atau interaksi antara
orang tua dan anak inilah yang disebut dengan pola asuh. Berikut ini
kita akan coba melihat pembentukan kepribadian anak melalui pola asuh
yang diterapkan oleh orang tua.
Pola asuh autoritarian, orang tua mengasuh
anaknya dengan segala sesuatu berpusat di orang tua. Orang tua
menerapkan peraturan yang disertai dengan hukuman bila dilanggar dan
anak harus mentaati tanpa diberi kesempatan untuk menguta-rakan
pendapat dan perasaannya. Komunikasi dalam pola pengasuhan ini bersifat
satu arah yaitu terpusat pada orang tua. Orang tua mengasuh anaknya
secara keras dan tegas. Namun demikian pola asuh otoritarian, tetap
berlandaskan pada rasa cinta orang tua kepada anaknya, hanya penerapan
yang kurang tepat untuk perkembangan kepribadian anak.
Penerapan pola asuh autoritarian ini,
dapat menimbulkan gangguan kecemasan pada anak, ketidak mampuan anak
dalam pengambilan kepu-tusan dan anak akan memiliki kemampuan
komuni-kasi yang rendah. Anak-anak tidak memiliki kesem-patan untuk
mengutarakan pendapat dan keinginan-nya sehingga mereka tidak terbiasa
untuk mengu-tarakan keinginannya ataupun memutuskan penye-lesaian
permasalahan yang dihadapinya. Anak tidak mengetahui bagaimana harus
bersikap, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan
keragu-raguan dan cemas.
Kegiatan yang akan dilakukan oleh anak,
harus sesuai dengan keinginan orang tua. mereka harus menanyakan
terlebih dahulu apabila mereka menginginkan sesuatu sehingga anak tidak
mandiri. Kondisi ini dapat membuat anak frustasi dan agresif bahkan
dalam perkembangan yang lebih ekstrim dapat menimbulkan terjadinya
kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan dan bunuh diri
(Zainudin, 2002). Bahkan menurut Prasetya (2003), anak yang diasuh
dengan pola asuh ini dapat menderita gangguan kepribadian seperti
antisocial personality disorder bahkan borderline personality disorder.
Anak APD dan BPD ini cenderung impulsive dan berpikiran pendek tanpa
mempertim-bangkan resiko dan mereka pun sulit mengontrol dirinya
sendiri, cemas bila harus melakukan pengambilan keputusan dan takut bila
sendiri. Mereka selalu membutuhkan orang lain sebagai pendampingnya,
mereka kurang memiliki tanggung jawab baik pada keluarga, pekerjaan dan
lingkungan sosial.
Walaupun demikian pola asuh autoritarian
pada dasarnya adalah bertujuan untuk membuat anak menjadi disiplin dan
teratur. Orang tua berpikir mereka lebih mengetahui kepentingan dan
kebutu-han anak-anak mereka. Namun sikap mengabaikan dan tidak
mempertimbangkan kepentingan anak serta ketidakterbukaan sikap orang
tua, cenderung akan membuat anak tidak terlatih untuk mandiri.
Pola asuh permisif, baik permisif-tidak
peduli maupun permisif-memanjakan, memiliki kekurangan dalam hal
mengatur anak-anaknya. Pola asuh ini memberikan kebebasan kepada
anaknya, orang tua tidak mencampuri kehidupan anak-anak mereka. Mereka
sedikit sekali menuntut atau me-ngendalikan mereka. Akibatnya adalah si
anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka
sendiri dan selalu berharap mereka bisa mendapatkan semua keinginannya.
Orang tua yang mengasuh anaknya dengan
permisif akan menghasilkan anak yang memiliki pengendalian diri yang
negatif. Mereka akan me-miliki sedikit teman, bersifat memanjakan diri
dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan ketentuan. Bahkan
mungkin saja mereka dapat mengalami gangguan kepribadian seperti
narsistic personality disorder, borderline personality disor-der dan
histrionic personality disorder.
Gangguan kepribadian ini dapat dialami
oleh anak-anak permisif, karena mereka diasuh de-ngan kebebasan yang
berlebihan tanpa ada batasan dan kontrol dari pihak orang tua, sehingga
mereka akan sulit memberikan respon emosional yang tepat, mereka lebih
mementingkan diri sendiri dan respon yang diberikan pun sering
berlebihan. Mereka berusaha mendapatkan perhatian dengan segala cara
walaupun harus melanggar norma-norma kesusilaan yang wajar.
Anak dapat melakukan apapun yang dia
inginkan tanpa harus dibicarakan terlebih dahulu kepada orang tua. Anak
tidak mengetahui apa dan mana yang benar atau apa dan mana yang salah,
sehingga mereka sulit menempatkan diri di lingkungan dan mereka pun akan
sulit untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Selain itu, anak menjadi
tidak peka terhadap situasi yang sedang terjadi di sekitarnya.
Sedangkan pola asuh autoritatif, adalah
pola asuh dengan sistem pengasuhan yang demokratis. Pada pola pengasuhan
ini anak memiliki kesem-patan untuk melakukan keinginan-keinginannya
dan bebas untuk mengutarakan pendapat dan perasa-annya. Walaupun
demikian hukuman tetap dite-rapkan dan kesepakatan yang telah dibuat
tidak boleh dilanggar. Jadi walaupun anak bebas mela-kukan aktifitas,
orang tua tetap melakukan kontrol dan bertindak tegas. Aturan yang
diterapkan juga disertai oleh penjelasan kepada anak-anak dan anggota
keluarga yang lainnya. Orang tua selalu berusaha menyediakan waktu untuk
berbicara dengan anak-anaknya dan mau mendengarkan cerita anaknya.
Orang tua menghargai keputusan dan kei-nginan dari anak-anaknya. Anak
yang diasuh dalam pola asuh autoritatif akan sadar diri dan ber-tanggung
jawab secara sosial. Mereka terlatih untuk mengambil keputusan secara
mandiri dan mereka tidak takut untuk mengutarakan perasaan dan
pendapatnya.
Dari pola asuh autoritatif, autoritarian
dan permisif, pola asuh autoritatif atau demokrasi lebih memberi
kesempatan berkembangnya kepribadian dan aspek-aspek psikologis lainnya
menjadi lebih baik dibandingkan 2 pola asuh lainnya. Dengan pola asuh
autoritatif, anak-anak diasuh dengan penuh cinta kasih, anak-anak
diberikan kebebasan dan kesempatan untuk mengutarakan keinginan dan
perasaan yang dirasakan oleh anak. Anak dapat melakukan aktivitas tanpa
diikuti oleh perasaan takut, mereka terlatih untuk mengambil keputusan
dan bertanggung jawab.
Hubungan antara kecenderungan psikologis
pada proses pengasuhan pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat
berpengaruh terhadap pro-ses-proses perkembangan pada fase-fase
berikutnya. Pola pengasuhan di awal kehidupan seseorang akan melandasi
kepribadian yang akan terus berkembang pada fase-fase berikutnya. Proses
pengasuhan di masa bayi akan mendasari kepribadian anak di masa
kanak-kanak. Proses pengasuhan di masa kanak-kanak akan mendasari
kepribadian di masa hidupnya (Erikson dalam Prasetya, 2003).
Kepriba-dian seseorang di masa dewasa tidak dapat dilepas-kan begitu
saja dari proses pengasuhan di fase-fase sebelumnya. Tingkah laku
seseorang di masa dewasanya sangat mungkin dipengaruhi oleh kon-disi
pengasuhannya di masa kanak-kanak.
Bila melihat uraian di atas, terlihat
bahwa secara menyeluruh penerapan pola asuh akan berakibat kepada
kemampuan anak dalam berso-sialisasi pada saat si anak beranjak remaja
sampai dewasa. Mereka yang mengalami gangguan kepri-badian akan
mengalami hambatan pada saat dia de-wasa bahkan dalam membangun
kariernya (Mangoenprasodjo, 2005). Para peneliti terus men-cari bukti
yang mendukung keyakinan bahwa pola pengasuhan otoriter dan permisif
kurang efektif dibandingkan gaya pengasuhan orang tua yang bersifat
otoritatif (Durbin, dkk, 1993: Lamborn, Dornbusch & Kraemer, 1990;
Taylor, 1994, dalam Santrock, 2003).
Banyak orang tua menggunakan kombinasi
beberapa teknik, daripada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah
satu teknik bisa lebih dominan. Pengasuhan yang konsisten biasanya
lebih disaran-kan. Orang tua yang bijak dapat merasakan pentingnya
bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu dan lebih bersifat
otoriter pada situasi yang lain, namun lebih otoritatif di situasi yang
berbeda.
American Psychiatry Association, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder”, 4th ed. American Psychiatric Association, Washington, D.C, 2000.
Mangoenprasodjo, A. Setiono. ”Anak Masa Depan Dengan Multi Intelegensi”, Pradipta Publishing, Yogyakarta, 2005.
Munandar, Utami, ”Bunga Rampai, Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia”, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Mu’tadin, Zainun. http://www.e-psikologi.com/ remaja/060808.htm
Prasetya, G. Tembong, ”Pola Pengasuhan Ideal”, Gramedia, Jakarta, 2003.
Santrock, John W., ”Adolescence: Perkembangan Remaja”, Ed. 6, Erlangga, Jakarta, 2003.
Seifert, Kelvin L; Hoffnung, Robert J., “Child and Adolescent Development”, Houghton Mifflin Company, Boston, 1997.
Slamet, Suprapti & Markam, Sumarmo, ”Pengantar Psikologi Klinis” Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
Wenar, Charles & Kerig, Patricia, “Developmental Psychopathology From Infancy through Adolescence”, 4th ed. McGraw-Hill Higher, Inc, USA, 2000.
More Article Di Sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar